Bandung - seen from above Pasupati Bridge (oil on canvas 2010, 80x110cm)
-------Bandung, seperti halnya kota-kota besar lain di negara berkembang, selalu menghadapi “dilemma” untuk menyediakan pemukiman yang layak bagi penduduknya. Di satu sisi, ruang kota dan daya dukung lingkungan sangat terbatas. Di sisi lain, penduduknya tumbuh pesat dengan daya-beli yang terbatas pula. Akibatnya lahirlah pemukiman yang tidak ideal seperti dalam lukisan ini.
Bandung di awal 1960-an ketika masih dijuluki ‘Kota Kembang’ atau ‘Parijs van Java’ hanya berpenduduk 900.000 jiwa. Sekarang? Mendekati 3 juta jiwa. Akibatnya… ada beberapa wilayah yang over-populated. Bahkan tiga wilayah diantaranya yaitu Cicadas, Kiaracondong, dan Bandung Kulon disebut-sebut sebagai kawasan terpadat di dunia. Ya, terpadat di dunia! Kepadatannya di atas 13.000 jiwa per kilometer persegi. Padahal angka idealnya adalah 500 jiwa per-km2.
Wajah seperti ini….dalam standar internasional sering disebut slum, favela, shanty-town, barrio, ghetto atau istilah lain berbau urban-decay yang konotasinya selalu negatif: padat, kotor, miskin, pengangguran, kriminalitas, dan cap-cap buruk lainnya.
Tapi tunggu dulu…..kita punya kultur dan pola hubungan sosial-ekonomi yang berbeda. Kemampuan adaptasi masyarakat juga hebat. Jadi, jangan terkecoh dengan wajah buruknya karena ini adalah “urban-village” ala kita. Di dalamnya ada realitas hidup, sederhana, efisien, praktis, murah, saling kenal, guyub, akrab.
Selalu ada nilai positifnya walaupun tidak ideal…..