
Usai menerima pembayaran, mulutnya kembali mengurai senyum seraya mengucap syukur atas rejeki yang ia terima saat itu. Seruan "terimakasih"nya yang khas kadang mengiringi pelanggannya berlalu dari kios sederhananya yang terletak di belakang tukang telor.
Tahu putih Medan jualannya di sudut pasar Mayestik itu cukup laris. Sejumlah kaleng seukuran kaleng wadah minyak goreng berjejer rapi di bawah meja pajangnya yang berlapis plastik vinil. Kaleng berisi tahu hangat yang masih direndam air itu dipastikan segera kosong ketika hari beranjak siang.
Jawaban dengan logat betawinya yang kental "Kagak bisa dibesokin, Non!" menjadi gambaran betapa dagangannya harus habis hari itu juga. Disambung dengan "Sekarang orang kagak doyan tahu nyang udah dingin, apalagi nyang kemarenannye" seolah sebuah jaminan bahwa produknya dipastikan selalu segar.
Si Abang Tukang Tahu ini menempati pojok khusus di hati saya. Berada di depan kiosnya seminggu dua kali dan mengamatinya mengupasi dan mengantongi satu persatu tahu dagangannya menimbulkan sensasi kebahagiaan tersendiri. Ia melakukan pekerjaannya dengan semangat tinggi tanpa lengah untuk berhati-hati menjaga agar benda lunak yang dipegangnya tidak terburai berantakan.
Tubuhnya yang beranjak senja selalu terbalut 'baju dinas' berupa kemeja lusuh kebiruan dengan setelan pantalon gelap yang sama lusuhnya. Rambutnya yang memutih sepertinya tak sanggup menutupi seluruh kulit kepalanya yang mengkilat. Sepintas, hampir tak ada yang istimewa dari penampilan si Abang ini, kecuali wajahnya yang seolah berpendar bercahaya dengan sepasang mata yang selalu berbinar dan seuntai senyum yang tak pernah lepas dari bibir keriputnya, memamerkan rangkaian geligi yang mulai hilang ditelan usia.
Keceriaannya melayani pelanggan tak pernah berkurang sedikit pun dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Ketulusannya tergambar nyata dari keramahan tutur katanya. Seolah terpancar sejumlah energi kasih yang tak sadar ia bagikan kepada lalu lalang para ibu di depan kiosnya.
Kadang pertanyaan sederhana menggedor logika berulang kali: "Bagaimana caranya ia terlihat secara terus menerus begitu bahagia? Cukupkah hasil penjualan tahunya sebagai biaya keluarga di rumah? Bagaimana caranya ia menyekolahkan anak-anaknya?". Dan banyak pertanyaan lain yang berkecamuk di kepala ketika sedang asik mengamatinya bekerja.
Kadang jawaban seolah datang tanpa disangka dari arah radio dangdut si tukang sayur di sebelahnya: "Rejeki kan kagak kemane. Nyang penting pasrah ame besyukuuurr Neenngg!". Dan sebuah 'pencerahan' merasuki jiwa di tempat yang tak dikira, yang pengap dengan ventilasi udara tak memadai, di tengah tumpukan sayur segar, cabe keriting, kol bulat, dan jagung manis.
Sungguh, hidup adalah anugerah. Semua tersedia banyak. "Rejeki mah kagak kemane!" Rejeki rasa bahagia, rejeki keberkahan, rejeki kesehatan, dan seterusnya sampai rejeki tahu hangat goreng yang pagi itu bisa terhidang di meja sebagai lauk sarapan di santap dengan nasi ngebul dan sambal kecap. Pertanyaannya adalah: sanggupkah menghadirkannya nyata pada keseharian kita?
Jika Abang tukang tahu sanggup bercahaya setiap hari, si Mbok Jahe penjual bumbu dapur daun salam empon-empon setia melayani kebutuhan dasar dapur setiap hari, si mbak Mien penjual tiwul selalu hadir tiap lepas subuh menghidangkan sarapan yang legit ditingkah senyum yang renyah, ya Allah, bagaimana mungkin kita bersungut murka menyikapi kekurangan yang tak seberapa? Bahkan, jika pun rintangan besar menghadang, ketika seolah tak ada lagi tenaga tersisa untuk sekadar menyungging senyum dan harap, mari amati, di sekeliling kita bertebaran kebijakan yang menawarkan tetes-tetes embun kesejukan untuk dihirup dalam-dalam.
Dan bagi saya, berkeliling pagi di pasar tradisional sungguh ritual yang menyegarkan. Seolah saya bisa bersinggungan dengan hidup dan sedikit kemurnian dari para pelaku pasar yang tak bosan, selalu setia, dan bahagia dengan pekerjaannya.
Semoga Kasih selalu bersama kita..

Pasar Mayestik, Maret 2009.