Sampai saat ini, saya mengagumi tiga orang besar (urutan hanya menunjukkan siapa yang lebih dulu diidolakan): Mahatma Gandhi, Romo Mangun, dan Gus Dur.Mereka adalah pahlawan2 saya. Dua hari lalu, pahlawan saya yang masih hidup,meninggal dunia. Dua hari ini rasanya sungguh sesak. Syukurlah masih bisa menghibur diri dengan membaca dan mengingat kembali lelucon2 kelas satu milik Gus Dur.
Meski saya selalu melahap habis dan berusaha mencerna tulisan2 ketiganya--bahkan dua orang terakhir masih sempat saya cermati tindak-tanduknya--namun saya tidak pernah bertemu langsung dengan mereka. Hanya sekali saya memegang tangan Romo Mangun, itupun ketika beliau sudah disemayamkan di Yogyakarta. Plus seringkali saya merasa berkomunikasi
langsung dengannya ketika meliput karya2 arsitekturnya (rincian kejadiannya silakan baca di buku saja nanti, kalau sudah jadi). Dengan Gus Dur saya hanya pernah satu tempat tidur. (Ha!?) Maksudnya, kalau ke Yogya saya selalu tidur di dipan kayu sederhana dalam salah satu kamar berukuran 1,75 x 2,75 m2 di rumah Romo Mangun di daerah Mrican. Kamar dan tempat tidur yang sama juga selalu dipakai Gus Dur kalau beliau menginap di rumah Romo Mangun. Sebagai orang biasa, tentu saya bangga bisa menginap di rumah pahlawan saya dan selalu tidur di dipan yang pernah ditiduri pahlawan saya itu. :)
Khusus Romo Mangun, saya beruntung menyimpan banyak benda dan berkas2 asli (termasuk sketsa2 ASLI coretan Romo Mangun) yang DIBERIKAN secara IKHLAS untuk saya simpan. Sebagian lagi saya peroleh salinannya. Pada satu kesempatan, saya menemukan lembaran2 kertas tulisan Romo Mangun di kamar kerjanya. Sebuah kata pengantar yang kelihatannya dibuat untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur (1996). Namun saya tidak pernah menemukan tulisan itu di belasan buku tulisan Gus Dur yang saya miliki. Entah tulisan itu pernah diterbitkan atau tidak.
Setelah email ini, saya ingin membagikan dua tulisan yang lebih kurang isinya "Romo Mangun tentang Gus Dur" (dibuat Romo Mangun sebagai pengantar buku yang mungkin belum pernah terbit) dan "Gus Dur tentang Romo Mangun" (dibuat Gus Dur sebagai Pengantar buku "Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak". Buku langka yang isinya sangat baik dan penting, yg sedang saya bujuk2 untuk diterbitkan ulang Gramedia, penerbitnya. Baru Wastu Citra yg berhasil).
Horas!
Erwin
Pedokumentasi karya2 kemanusiaan Romo Mangun yang berharap ada pihak/orang melakukan hal yang sama untuk karya2 kemanusiaan Gus Dur.
"Romo Mangun tentang Gus Dur"
KATA PENGANTAR
Tugas menyumbang suatu kata pengantar untuk bunga rampai kata pengantar pilihan yang pernah ditulis oleh K.H. Abdurrahman Wahid untuk sekian banyak buku merupakan kehormatan yang besar bagi saya, akan tetapi sekaligus tugas yang berat, karena Kiai kita ini seorang generalis pengamat tajam yang amat luas pengetahuannya tentang sektor-sektor kehidupan banyak dan vital. Bidang-bidang filsafat, teologi Islam, teori hukumnya (usul fikh) dan refleksi tentangnya, namun juga pengamat teliti dari apa yang sedang hidup dan bergerak dalam agama-agama besar lain. Bidang-bidang politik, sosiologi, kebudayaan dan sebagainya dan lain-lain bukanlah wilayah asing untuk Gus Dur.
Namun bukan hanya teoretikus dan pengamat, putera pahlawan nasional yang ikut merumus Pancasila dan UUD 45 K. H. A. Wachid Hasyim dari Tebuireng ini adalah praktikus juga yang tahu dan menyelusup dalam lorong-lorong kehidupan nyata. Sang Kiai ialah pemimpin tipe suka turba (turun ke bawah) ke ujung-ujung sudut masyarakat yang tidak pernah datangi kaum intelektual. Sehingga pengetahuan beliau didukung dan berdialektik dengan praksis kehidupan nyata, khususnya kehidupan kaum yang dilupakan dan tidak pernah terjamah dan karena itu tidak diperhatikan. Pemimpin umat bawah di negeri ini yang belum pernah beliau kunjungi atau kenal? Teristimewa kiai yang amat miskin tetapi amat bermartabat dan ningrat budihatinya? Saya sendiri dengan kagum melihat stamina dan terutama keyakinan diri beliau yang tenang bergaul dengan dunia elit nasional dan internasional, namun mampu juga tanpa lelah dan penuh kesayangan turun ke bawah dan berbincang-bincang saling membagi rasa dan pandangan dengan sekian banyak kiai serta santri-antri mereka di segenap pelosok umat Islam paling bawah.
Kata-kata pengantar sekian puluh buku dari berbagai disiplin maupun gaya yang dikumpulkan dalam bunga-rampai ini sebenarnya bukan hanya mengantar para pembacanya, akan tetapi lebih dari itu: satu per satu merupakan kuliah berharga dan saran-saran yang berhikmah yang menyangkut topik bersangkutan. Kumpulan kata-pengantar ini dapat dibagi dalam tiga kategori.
Yang pertama menyangkut hal-hal gejala kebudayaan umum, seperti fenomen mitos sebagai sarana legalisasi kekuasaan maupun perubahan kekuasaan, humor selaku ekspresi kedewasaan dan kritik politik demokratik, kedudukan puisi yang berhadap-hadapan dengan ideologi dalam kehidupan manusia, mahluk yang harus mau dan berani mengendalikan ideologi, dan bukannya ditundukkan kepadanya. Juga soal peringatannya tentang bahaya yang tak proporsional dengan hasil pembangkitan energi lewat instalasi nuklir (yang mengena penduduk padat yang kebanyakan warga NU di daerah yang masih tergolong berbahaya gempa bumi serta di tepi Laut Jawa, jalan lalu-lintas laut yang paling ramai di Indonesia setelah Selat Malaka). Juga soal puisi, sastra yang peduli pada problem-problem sosial seperti birokrasi, dsb.
Kategori kedua membahas penghayatan keagamaan, pemahaman serta citra tentang Tuhan dan religiositas umum. Dengan contoh-contoh seperti apa yang dipercayai kalangan Kong Hu Tze.
Dan ketiga, khusus mengkaji dinamika agama dalam kalangan Islam di Timur Tengah dan di Indonesia, termasuk komentar tentang para tokoh kiai serta pemikir Islam.
PANTULAN FIRMAN
Tentu saja kategori terakhirlah yang dominan dan paling penting, namun kategori-kategori pertama dan kedua amat bermanfaat untuk mengetahui benang merah atau substansi pemikiran serta sikap dasar Kiai Haji Abdurrahman Wahid selaku pribadi pemimpin religius yang harus diperhitungkan di negeri ini maupun dunia internasional.
Yang tampak langsung dalam bunga-rampai ini ialah keluasan pengetahuan dengan kearifan seorang kiai tingkat nasional yang dapat memadu wilayah intelektual dengan praksis kehidupan, dan yang membuat Gus Dur menjadi panutan banyak orang yang bingung dalam masa transisi semua dimensi kehidupan, khususnya generasi muda yang mencari harmoni antara bukum agama dan dinamika perubahan semua dimensi tata-nilai dan way of life secara otentik, relevan, moderen tanpa diracuni modernisme. Tidak ada jurang antara kata dan perbuatan dalam seorang arifin, meski harus menempuh risiko tidak disukai oleh pihak-pihak yang dalam sejarah seluruh budaya bangsa manusia di mana pun memang dari koderatnya tidak suka kepada pemikir arif, yakni para penguasa dan kaum kaya mewah. Oleh karena itu bila Gus Dur tidak berkenan kepada yang kuasa atau kaya berlimpah, hal ini justru merupakan pengakuan dan penghormatan yang paling meyakinkan bagi seorang ulama atau rohaniwan yang berfungsi sedikit banyak sebagai nabi (dengan huruf kecil) atau budayawan, yang dari definisinya adalah (paling tidak diandaikan, diharapkan menjadi) penyambung dan pengantar hati-nurani nasion selaku pantulan Firman Allah yang bersabda lewat lubuk nubari suatu bangsa.
HUMOR
Itu semua tidak harus selalu berkisar pada tema-tema yang adiluhung atau mistik. Bisajuga lewat hal-hal yang amat sehari-hari sekali pun. Misainya dalam komentar Kiai kita tentang humor Rusia. Kejenakaan dapat bersasaran dunia ilmu-ilmu atau dimensi-dimensi kehidupan yang tertinggi, politik, agama serta religiositas. Kita tahu bahwa Kiai Haji asal Tebuireng ini gemar humor. Mungkin karena kekiaiannya telah terlatih dalam praksis komunikasi sosial dengan banyak orang bermacam-macam lapisan beliau mudah melucu dan menceritakan perkara maupun peristiwa dengan bumbu-bumbu humor yang lezat namun bermutu. Humor politik misalnya ataupun humor yang menyangkut manusia (yang seumumnya lemah) melaksanakan agama. Manusia peka humor adalah pribadi yang dewasa, yang sudah sampai pada tingkat keberanian menertawakan diri sendiri karena mengenal diri sendiri dengan segala kekuatan maupun kelemahannnya; manusia realis sekaligus tidak rusak pahit diracuni segala bentuk realitas kegagalan manusia; manusia yang masih punya harapan, dan karena itu membuktikan dirinya beriman justru karena peka dan menghargai humor. Diktator dan orang keji tidak pernah suka humor. Dan jika mereka melucu, dagelannya pahit sinis bernada merusak. Sebab manusia yang hampa apatis atau pahit sinis sarkastis melulu pada hakekatnya sudah nglokro (duduk membeku) seolah-olah Tuhan dan manusia selaku mahlukNya sudah kalah menghadapi segala nafsu keserakahan dan destruksi kebusukan sejumlah orang sesat yang dikuasai iblis.
Gus Dur tergolong dalam jenis kepribadian yang mendalam iman kepasrahannya kepada Allah Yang Mahakuasa lagi Maha Pengasih. Sehingga suka menceritakan bahkan memplesedkan banyak hal dan peristiwa secara amat jenaka yang menimbulkan kawan pendengamya tertawa terbahak-bahak. Padahal inti masalah yang diceritakan amatlah serius. Dalam hal ini beliau adalah seorang kiai rakyat dalam arti yang sesungguhnya, yang dapat membuat kita iri. Maka tidak mengherankan bahwa penerbit buku Humor Rusia meminta Gus Dur membuat kata pengantarnya; justru humor Rusia, karena bangsa Rusia amat terkenal dengan humornya yang amat lucu sekaligus berbobot berkualitas intelektual tinggi, meskipun (atau justru karena) banyak bersumber dari kalangan rakyat sederhana negeri vodka yang penuh tragedi namun penuh ketegaran jiwa juga.
Karena sense of humour menandai sang Kiai dari Jombang ini, maka tampaklah juga kedewasaan beliau dalam bidang agama Islam yang menjadi ekologi nafas serta keahlian Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Kata-kata pengantar beliau sekaligus tesis teologi atau komentar tentang hukum agama (fikh) maupun teori hukum agama (usul fikh) Islam amatlah penting dalam pergulatan berat tetapi mulia demi sehatnya proses transformasi agama di dalam badai pengaruh modernisme dan pasca-modernisme saat ini.
DISIPLIN MAYAT DAN MORAL
Kejenakaan Gus Dur tidak menghalangi keseriusan berbicara, antara lain ketika mengomentari Jenderal L.B. Moerdani. Di sini kita melihat suatu sikap yang menonjol dalam sang komentator, ( yang memangkujabatan ketua organisasi besar Nahdatul Ulama, jadi salah seorang pemimpin rakyat yang amat terpandang), terhadap tokoh lain yang juga terpandang namun dari kamp yang lain sama sekali dari dunia santri, yakni angkatan bersenjata. Di sini kita melihat rasa keadilan dan kelurusan hati Gus Dur: menghormati rasa disiplin seorang prajurit tegas yang setia kepada sumpah prajuritnya dalam kerangka Befehl ist Befehl (perintah adalah perintah) dunia tentara. Akan tetapi di pihak lain: sang Kiai Haji tetap menjaga jarak yang dituntut oleh moral, bahwa manusia siapa pun, prajurit tidak terkecuali, tidak lagi terikat kepada sumpah taat kepada manusia, termasuk komandan panglima tertinggi sekali pun, bila diperintahkan sesuatu yang melanggar moral dan hak/kewajiban azasi manusia yang diperintahkan oleh paling tidak sila universal kemanusiaan yang adil dan beradab, karena sila tersebut jauh lebih tinggi dari panglima tertinggi mana pun. Apalagi bila itu diberi pondasi kesadaran sila hormat dan taat kepada Allah. Contohnya dalam kasus penembakan di luar hukum yang terkenal dengan nama petrus (pembunuhan misterius).
Di sini Befehl ist Befehl tentara dari negara yang manusiawi, adil dan beradab harus kalah terhadap konsensus kesadaran moral semua bangsa yang manusiawi, adil dan beradab dalam tahap kedewasaan hatinurani masa kini; karena manusia harus lebih taat kepada Tuhan (dan moral) daripada kepada manusia yang berkedudukan amat tinggi setingkat kaisar sekalipun. Demikianlah setiap manusia dibebaskan dari segala macam otoritas manusia, entah orang-tua entah pemerintah atau hakim siapa pun bila disuruh berbuat melawan Hukum Tuhan. Dalam hal ini moral Islam sejalan dan sekata dengan moral ajaran Yesus kepada sang jenderal yang Katolik itu: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah ( Mrk 12, 17; Mat 22: 15-22,; Luk 20: 20-26) Dengan catatan bahwa Kaisar dan Tuhan itu sama sekali tidak duduk pada dua singgasana yang setingkat dan sederajad seperti dwitunggal, akan tetapi kewajiban kepada Tuhan jauh lebih tinggi lebih berbobot lebih maharaya tiada terhingga dibanding dengan kewajiban kita kepada kaisar siapa pun dari mana pun. Namun pengambilan jarak yang mengekspresikan ketidaksetujuan beliau dengan mental Befehl ist Befehl gaya Kadaverdiziplin (disiplin mayat) tentara Jerman itu tidak mengurangi penghargaan sang Kiai terhadap seorang prajurit yang punya bakat-bakat positip lain yang pantas dikagumi. Di sinilah kebesaran jiwa dan rasa keadilan sang Kiai dari Tebuireng yang tidak suka memvonis a-priori pukul rata itu tampak dan pantas kita kagumi juga.
PAKAR-PAKAR PENELITI
Dalam kumpulan komentar Gus Dur ini dipilih pula pandangan-pandangan dan penghargaan beliau tentang para peneliti serta karya-karya mereka. Seperti ihtiar para peneliti non Islam mengenai umat Islam di Indonesia Martin van Bruinessen, Hiroko Horikoshi, William Cleveland. Pemikir Muslimin yang amat menarik yang dibahas Gus Dur ialah upamanya intelektual Hassan Hanafi yang melontarkan gagasan-gagasan yang amat aktual dan menentukan fungsi agama di hari kini dan mendatang. Pemikir AI-Azhardari Kairo ini mendesakkan "keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrur, libration)" yang pantas kita beri waktu yang cukup luang demi suatu refleksi yang tenang dan mendalam.
Desakan Hassan Hanafi datang sejajar dengan apa yang juga berkembang dalam teologi pembebasan para teolog Katolik Roma Amerika Latin. Yang dapat dimengerti, meski sayang, tidak disukai oleh kubu-kubu konservatip "kanan'' di kalangan Gereja Katolik yang terlanjur amat diwarnai oleh budaya borjuasi liberal yang pandangan dasarnya (tanpa sadar) masih suka pada dunia kapitalis dan kolonial tradisional, dan yang sebetuinya melawan arus progresip yang pernah digariskan oleh Paus Yohannes XIII dan Konsili Vatikan II serta pengarahan resmi serta semangat preferential option for the poor gereja-gereja masa kini.
KIAI-KIAI
Dalam kumpulan kata pengantar yang tertuju kepada sesama kiai di Indonesia Gus Dur kritis, dan saya menduga bahwa cukup banyaklah yang tidak cocok dengan orientasi pandangan Ketua PB NU ini, terutama mereka yang amat berafiliasi dengan para penguasa. Komentar tentang K.H. Ahmad Sjaichu dan pandangan panjang lebar tentang kedudukan serta arti Buya Hamka begitu banyak memuat hikmah, sehingga sebaiknya para pembaca budiwati budiwan membacanya sendiri dengan meditatip. Barulah kita dapat lebih diperkaya batin.
Dalam kata pengantar untuk buku Hiroko Horikoshi tentang peran kiai beliau refleksip mengupas gugatan umum bahwa "para agamawan sejak dahulu sering dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan". Tidak hanya dalam dunia Islam, akan tetapi juga dalam agama Katolik dan agama lain. Sehingga sebenarnya, bila kita jujur, keberangan Karl Marx yang mengatakan "agama adalah candu bagi rakyat" sungguh tidak tanpa alasan. Namun ada contoh-contoh yang tidak begitu, dan yang ditunjuk oleh Hiroko Horikoshi.
Hanya banyak orang, khususnya para penguasa,akan terkejut bila dalam wilayah kekiaian Gus Dur menulis (komentar tentang buku NU dan Pancasila): "...pecahnya NU-Masyumi itu, sekaligus memberikan peringatan keras kepada kita untuk tidak mencoba-coba lagi menyusun kepemimpinan tunggal bagi ummat Islam, apakah itu dalam bentuk langsung maupun tidak, seperti dilakukan MUI saat ini"'.
Maka kita dapat belajar banyak dari uraian sang Kiai tentang kehidupan dan hakekat fenomena pesantren, kedudukan sang kiai, para ustad serta santri-santrinya dalam hubungan mereka dengan agama dan masyarakat, realita-realita yang amat beliau kenal dan yang didekati secara salah oleh wartawan keliling Naipaul dalam bukunya Among the Believers.
DAR SULH
K.H. Abdurrahman Wahid bukan hanya kiai, akan tetapi selaku Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama yang luas sekali wilayah keanggotaannya, seorang negarawan juga Oleh karena itu wilayah problem penting yang dikuasai oleh beliau tentulah saja pasal-pasal yang menyangkut hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam.
Sehubungan dengan itu (selaku ilustrasi selingan dan pendahuluan saja) saya terkenang pada suatu peristiwa yang menarik, yakni waktu saya (dan Habibie serta Wardiman) masih mahasiswa di kota Aachen Jerman di tahun 60-an. Suatu hari saya dimintai tolong oleh teman kawan Indonesia yang Islam untuk membela posisi Indonesia. Soalnya mereka gusar dan berang karena diserang para mahasiswa Mesir, Pakistan dan lain-lain dengan tuduhan bahwa Indonesia tidak Islam sungguh. Soekarno, Hatta, Nasution dan para pemimpin pemuka nasional Indonesia kebanyakan muslimin kuasa dan mayoritas bangsa Indonesia muslimin muslimat, tetapi kenapa tidak becus mendirikan negara Islam? Agama Pancasila apa itu. Sayang Gus Dur atau Cak Nur, Djohan Effendi dulu tidak belajar di Aachen. Jadi terpaksalah saya (yang satu-satunya rohaniwan Indonesia di sana) diminta sebagai penasehat utama dalam ikhtiar membela posisi umat Islam Indonesia yang diwakili Bung Karno, Hatta dan Nasution kala itu, yang sengaja "tidak becus" mendirikan negara Islam seperti Mesir, Pakistan dan Malaysia.
Nah, kami mendatangi rapat yang temyata lebih berupa sidang pengadilan daripada perbincangan dialog, dan menguraikan sejarah serta sikap bangsa Indonesia dalam soal agama dan negara. Hanya kami agak tersudut karena salah seorang rekan dengan jujur dan benar (munkin hanya kurang taktis) mengatakan bahwa sebelum Islam datang, agama Hindu dan Buddha sudah mengagamakan Nusantara. Akibatnya para "jaksa" kami lebih keras lagi dalam bahasa penghakiman mereka dengan mengujar bahwa umat Indonesia keliru bila menganggap Hinduisme itu agama, karena itu hanya tahayul belaka. Dan ini bukti umat Islam Indonesia bukan Islam yang benar karena tidak dapat membedakan antara agama dan tahayul.
Lebih sial lagi, salah seorang sahabat mahasiswi Indonesia kita dengan tanpa prasangka atau pikiran buruk duduk di barisan muka, tetapi dengan rok biasa, sehingga salah seorang dari negara sahabat Mesir atau Pakistan itu demonstratip maju membawa sapu-tangan dan menutupi lutut kegadisannya yang biarpun bersila timpuh, jadi amat sopan dalam wawasan Nusantara, tetapi sangat tidak Islami bagi para pemuja Ali Jinnah dan Abdel Nasser itu.
Sampai sekarang bila kami saling berjumpa, gadis-sapu-tangan tadi (puteri tokoh Islam Sumatra terkenal yang disegani dan kini sudah menjadi nyonya dan nenek muslimat baik tetapi modemis masih suka pakai rok potongan internasional) masih terbahak-bahak tertawa bila mengingat insiden dulu itu. Namun bagi saya yang Katolik dan sejak dulu tergolong generasi muda yang antusias mengikuti petunjuk Konsili Agung Vatikan II yang menganjurkan persahabatan dengan umat beragama lain, khususnya Islam, peristiwa itu merupakan kebahagiaan khas tersendiri yang tak pernah saya lupakan penuh syukur, karena mendapat kehormatan dan kepercayaan diajak teman sahabat muslimin muslimat Indonesia untuk ikut menjelaskan dan membela posisi dan sikap umat Islam dalam segi hubungan antara agama, negara, masyarakat dan kerukunan antar umat beragama yang berbeda-beda. Sebab pasal satu ini memang masalah yang begitu besar dan amat menentukan bagi kesejahteraan rohani dan jasmani, baik nasional maupun internasional, sehingga pantas kita perhatikan secara amat serius, jujur dan penuh iman. Tanpa kita meninggalkan kesetiaan kepada agama (ritus, organisasi, adat, hukum, umat) kita masing-masing. Namun saling memahami serta menghargai. Dengan kata lain: berusaha manusiawi setutuhnya.
Demi itu semua K.H. Abdurrahman Wahid, dalam nunggak semi tradisi ayahanda K.H. Wachid Hasyim yang nasionalis rasional realis namun tetap beriman dan muslimin sejati, menolong kita dengan mengingatkan pada pemahaman Islam tentang dar islam, dar harb dan dar sulh (negara Islam, negara perang, dan negara damai/sangga). Umat Islam di Indonesia telah memutuskan final untuk memilih bentuk dar-sulh (negara damai) bagi Republik Indonesia dari 3 alternatip, dar-islam (negara agama Islam), dar-harb (negara perang yang memerangi negara anti-islam yang menghilangkan pemberlakuan syari'ah Islam dari undang-undang negara) dan dar-sulh (negara damai atau sangga di mana syari'ah dalam bentuk hukum agama / fikh atau etika masyarakat masih leluasa dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara). ltu diterangkan gamblang obyektip dalam kata pengantarnya untuk buku "NU dan Pancasila" oleh Einar M. Sitompul.
Demikianlah perkembangan pilihan umat Islam tadi, yang tidak sedikit dipelopori oleh NU juga di bawah pimpinannya, dengan menerima bentuk dar-sulh untuk RI, temyata sejajar (analog mutatis mutandis) dengan yang dipilih umat Nasrani, namun juga umat agama-agama lain di sini. Inilah rahmat dan karunia Tuhan yang amat menggembirakan dan mendamaikan.
PELAJARAN PAHIT
Maka perkenankanlah saya menarik garis paralel dengan apa yang menjadi pengalaman (pahit getir namun berharga) Gereja Katolik dalam masalah yang sama. Di abad ke-4 sd. M. Kaisar Theodosius kemaharajaan Romawi (yang pada
zamannya berpusat di Konstantinopel, kelak menjadi Istambul, dengan gereja agungnya Aya Sophia yang kelak lagi menjadi masjid agung), mengangkat agama Katolik menjadi agama negara dan demikian mengawinkan kekuasaan politik kenegaraan (duniawi, fana) dengan kekuasaan agama (abadi, akhirat). Sejak itu Gereja lalu menjalani apa yang dilambangkan oleh dwitunggal Pedang dan Salib. Jadi analog mutatis mutandis (diubah/diganti yang perlu diubah/diganti) dengan konsep teokratis total dar-islam dan dar-harb. Yang berjalan lebih dari 15 abad, dan yang historis ternyata spiritual berakibat fatal dan menghancurkan kehidupan sejati Gereja. Sampai mengkampanyekan Perang-perang Salib yang penuh malapetaka itu dalam konsep yang mutatis mutandis analog dengan dar harb (negara perang), bahkan menjadi kolaborator dan pelindung dari proses kolonialisme Spanyol dan Portugal yang mencelakakan penduduk pribumi benua-benua lain secara amat kejam, yang amat memalukan orang-orang Katolik sendiri.
Baru sesudah di abad ke-19 Negara Vatikan yang berkonsep Pedang dan Salib tadi direbut oleh Garribaldi dan kaum nasionalis yang menghendaki negara kesatuan Italia, konsep pernikahan antara negara dan agama itu ditinggalkan.
Suatu felix culpa (kesalahan / peristiwa buruk yang membahagiakan) terjadi, karena umat Katolik lalu lega, Gereja dapat pulang kembali ke (istilah NU) khittahnya yakni berkarya hanya dalam wilayah spiritual, penanaman keadilan sosial, perdamaian, pendidikan moral, kemerdekaan azasi manusia, filsafat dan teologi kemasyarakatan (bahkan penolakan resmi libralisme, kapitalisme dan komunisme, fasisme) serta penanganan wilayah-wilayah sikap serta karya yang mempersatukan, merukunkan, keadilan sosial, penanaman kesadaran hak-hak serta kewajiban azasi, kemanusiaan yang beradab serta segala bentuk diplomasi yang mendamaikan dan memekarkan manusia secara semakin manusiawi
dan dewasa dalam iman, harapan dan cintakasih. Jadi menjauh dari politik dalam arti segala yang berbau kekuasaan duniawi. Yang ditangani hanyalah politik dalam arti asli: berihtiar demi kepentingan kesejahteraan jiwa-raga umum dan universal lewat usaha-usaha lokai, regional maupun global.
Khususnya Konsili Vatikan II secara revolusioner dan evolusioner meninggalkan klaim "extra ecclesiam nulla salus" (di luar Gereja tidak ada keselamatan, alias mengkafirkan umat agama dan kepercayaan lain) yang dipegang hampir 2000 tahun.
Bahwa pengarahan dasar yang serba revolusioner itu belum dapat diimplementasi 100 % di kalangan seluruh umatnya, ini disebabkan melulu karena kelemahan manusia yang tidak sempurna dan alotnya orang untuk meninggalkan adat tradisi sekian lama. Namun prinsip dan benih sudah ditanam dan hidup. Tinggal pemekeran evolusionernya ke arah yang oleh kaum Muslimin mungkin sangat dekat disebut dar-sulh (negara damai) tadi; dalam istilahNasrani: Kerajaan Tuhan. Yang tidak identik dengan Gereja, karena lebih luas dan lebih dalam daripada hanya agama selaku ekspresi lahiriahnya saja secara organisasi, meski organisasi keramat seperti apa pun.
ANTI KEKERASAN
Oleh karena itu terbaca jelaslah bahwa komentar, opini serta pernyataan-pernyataan resmi K.H. Abdurrahman Wahid di masyarakat ramai selalu konsekuen dan konsisten atas keputusan dar-sulh itu, meskipun sering harus melawan arus beberapa kalangan Muslimin sendiri. Dengan memperingatkan misainya bahwa (konkretnya dalam soal hubungan zakat dan pajak) keadaan Indonesia dan Malaysia lainlah, karena Malaysia adalah dar-lslam sedangkan Indonesia dar-sulh.
Namun yang paling hebat dalam masalah dar-sulh ini, Kiai muda dari Jombang ini, Ketua PB NU dan Ketua Forum Demokraai, tegak tegar dan lurus jujur dalam memperjuangkan citra Islam selalu buah sikap-dasar dan agama yang anti
kekerasan. Islam adalah agama suka damai, berbesar hati, murah dalam pengampunan, dan kaya akan kesayangan dan kasih. Beliau sedih melihat kasus-kasus yang tak kenal toleransi dan masih adanya orang-orang yang menamakan diri Muslimin tetapi mempraktekkan teror, suka main senjata dan sempit jiwa, karena hal itu merusak citra Islam tadi yang sebenarnya amat toleran, suka damai, penuh pengampunan dan lembut pengasih.
ANTI DISKRIMINASI
Maka sejalan dengan di atas tadi pengantar-pengantar Kiai kita ini menjauh dari segala arus diskriminasi dalam bidang-bidang agama / kepercayaan, ras, suku, hukum, politik, ekonomi, budaya dsb., yakni bentuk-bentuk penilaian sewenang-wenang terhadap manusia yang diambil dari tolok-ukur wilayah lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan realitas kepribadian pihak yang didiskriminasi, jadi tidak adil. Sebab, Islam berarti kesumarahan total kepada Allah, padahal setiap manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang sama derajat dan haknya di hadapan Allah, maka sikap Islam adalah sikap keadilan.
ANAK
Dalam hubungan itu semoga para pembaca budiwati budiwan memaafkan saya bila kesempatan ini saya manfaatkan untuk menyatakan, bahwa salah satu kebanggaan dan kebahagiaan saya, yang penulis juga, ialah bahwa K.H. Abdurrahman Wahid pernah, atas permintaan saya, berbaik hati mau membuat kata pengantar tentang buku kecil saya tentang bagaimana "Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak" yang bertuju pada publik umum dari semua agama. Di sinilah kita temukan lagi salah satu dari substansi sikap religius Gus Dur, ketika belliau menulis: "Salah satu ciri agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas perbedaan antar manusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan
kemanusiaan yang penfuh keterbatasan. ....Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintaiNya, adalah inti dan imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?" Dan arif menekankan lagi apa yang sebenarnya sudah diketahui oleh setiap manusia tetapi jarang dikerjakan: "Kesadaran dan
pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan pencontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan. Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak......Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang monopoli para teolog." Dan tentulah sebaliknya: anak adalah milik
Tuhan. Kita hanya dititipi.
RE-THINKING, REKONSTRUKSI, REKONFIGURASI
Namun semua itu hanya dapat tercapai apabila bangsa kita yang mudah terbakar emosi dan masih mengidap sisa-sisa berkadar banyak dari perangai primordialnya, mau mengadakan re-interpretasi, re-thinking dan reformasi teologis maupun praktis yang tuntas untuk mencabut akar-akar ke-tidak-beradaban yang masih melekat erat pada kita, manusia anak tradisi perasaan minder kolonial yang mudah terpecah-belah dan tersinggung oleh sembarang tetek-bengek yang jauh tidak sebanding kecilnya dibanding dengan masalah-masalah pokok yang lebih menentukan kesejahteraan hidup bersama.
Maka dalam kumpulan komentar ini tersentuhlah banyak tentang dinamika agama, dan khususnya keagamaan (rukun Islam) dan religiositas (rukun iman) umat Muslimat Muslimin; tentang rukun Islam dan rukun iman, tentang usul fikh (teori hukum agama) dan qawa'id fikh (kaidah-kaidah hukum agama) tentang al-zuhd (kealiman, ascetisme) , tasauf (pusat gerakan religius), santri desa santri kota, syari'at dan tauhid (ajaran lgal formalistik) dsb. Juga tentang hakekat kyai pesantren, utaf dan santri, mursyid (penujuk ke arah kesempurnaan dan pengertian akan hakekat Allah, wirid (pekerjaan ibadat yang dianggap utama) dalam gerakan tarekat dan tempat ritual (zawaya, sufun al-najat), dan lain-lain. Khususnya soal kebangkitan kembali peradaban Islam, adakah ia? Khususnya lagi menghadapi zaman ilmu pengetahuan empirik dan teknologi serta susunan demokratik umat Islam dalam pluralisme keyakinan.
Beliau menyambut kebangkitan Islam dalam bentuk lahiriah dan manifestasi gebyar seperti MTQ, deretan kuliah subuh, tumbuhnya tasauf, berbondong-bondong orang naik haji dll. akan tetapi prihatin (bersama DR. Nurcholis Madjid yang melihat begitu banyak korupsi dan kekerasan dilakukan bangsa Indonesia yang konon amat agamis) telah mencatat, bahwa "Peninjauan atas wawasan kemanusiaan yang tuntas belum lagi terlaksana....masih sering dilakukan secara bermain-main, atau untuk memenuhi ambisi perseorang belaka....kemanusiaan yang akan ditampakkan Islam nanti masih belum jelas identitasnya."
Semua masih kenang-kenangan indah akan ketinggian peradaban masa lalu Islam. Tetapi bagaimana masa kininya? Maka menurut Gus Dur kaum Muslimin masa kini "dituntut untuk merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang mengalami begitu banyak perubahan dengan cepat, memiliki begitu aneka ragam tantangan dan kemungkinan."
PENAFSIRAN ULANG
Permasalahan memang tidak hanya parsial atau lokai nasional belaka seperti darsulh tadi. Yang amat fondamental dan yang menyingsingkan harapanl (ialah bahwa tidak sedikit pemikir-pemikir Islam di Indonesia, khususnya yang muda
dan progresip, mengambil jalan lain dari apa yang biasanya dikemukakan oleh para pemikir Timur Tengah dan lain-lain. Bersemilah di Indonesia suatu cara-bertanya lain dalam cara memahami dan menghayati Islam. Yang dalam perkembangan internasional nanti dapat dipastikan akan memegang peran penting, sehingga mungkin saja dunia Islam Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan dan Tenggara ataupun Amerika akan ikut belajar dari pemikir-pemikir Islam di Indonesia. Permasalahan intinya secara padat dirumuskan oleh K.H. Abdurrahman Wahid antara lain dalam pengantarnya untuk buku "Agama Keadilan" yang ditulis oleh Masdar F. Mas'udi: yakni suatu seruan untuk berihtiar mengadakan penafsiran ulang yang tuntas atau "rekonstruksi banyak ajaran (para teolog dan penapsir) Islam yang selama ini justru dianggap tabu...." Apakah yang dimaksud dengan rekonstruksi itu, bahkan yang menurut sang Kiai Haji harus terus menerus disesuaikan dengan tuntutan kemaslahatan yang bergerak dinamis?
"....wasiat Rasulullah," demikian Gus Dur, "...yang harus dipedomani oleh umat Islam, di samping al-Quran, bukanlah haditsnya, melainkan sunnahnya. Hadits adalah penuturan verbal dan formai tentang (percikan) perilaku atau way of life dari Rosullullah dan pemikiran (ucapan)-nya. Sedangkan sunnah" hanya bisa diketahui selain dengan menggunakan dokumen hadits, tidak kalah penting adalah juga melalui kajian sosio-historis, dalam konteks mana tindakan dan ucapan (juz'iyah) dari Rosullullah itu sendiri hadir.....Dalam konteks pemikiran Islam, satu-satunya garis yang membedakan keabsahan dan kebatalan suatu pendirian adalah al-Quran dan sunnah Rosul. Bukap dengan cara memperhadapkannya secara formai pada makna harfiyah dari satu dua ayat atau hadits Nabi tertentu, melainkan dengan memperhadakannya pada kandungan substansial dan utuh dari kedua patokan tadi, yakni kemaslahatan hidup umat manusia secara rohaniyah maupun jasmaniyahnya, personel maupun sosial"
Oleh karena itu fanatisme agama tidak ada pada Kiai Haji dari Tebuireng ini, karena fanatisme sesaudara dengan kepicikan minder, kebodohan, kekejian dan kepanikan. Dan akhirnya menunjukkan dangkalnya iman yang belum percaya bahwa Tuhan sama sekali tidak identik dengan agama tertentu, jangan lagi identik dengan pendapat perorangan atau elompok. Yang diperlukan ialah hati yang penuh empati dan mampu tepo-seliro (compassionate), pengetahuan yang luas
dan serius. Terutama keislaman beliau yang mendalam dan melibatkan diri dengan kebesaran hati menyerukan supaya umatnya, khususnya generasi muda, selalu mencari esensi. substansi atau ruh Islam dan tidak hanya apa yang diminta oleh fikh (hukum agama) atau usul fikh (teori hukum agama) atau qawa'id fiqh (kaidah-kaidah hukum agama; itulah yang tersurat dan tersirat dalam kumpulan komentar sang Kiai di sini.
Maka walaupun "insiden Aachen" tadi mungkin hanya peristiwa kecil dan lokal saja yang tidak banyak artinya secara makro atau Pan Islami maupun Bkumene sejagat antar umat beragama yang amat menentukan bagi warna abad ke-21,
namun, paling tidak bagi saya pribadi, sangat signifikan dan merupakan simbol masalah inti, bagaimana menempatkan kedudukan yang persis pas, adil dan manusiawi terhadap apa yang disebut agama (ekspresi dan pengorganisasian lahiriah) dan iman (esensi, substansi, kehidupan).
Dan akhirnya pemahaman kita tentang apa dan siapa yang kita sebut penuh homnat dan puja dengan istilah Tuhan, God, Gusti, Pangeran, Widhi, Allah, Yang Mutlak, Yang Abadi, Yang Mahaesa Yang Mahaagung, Yang Paling Transenden dan Yang Paling Immanen, Yang Paling Misteri, Kang Tan Kinoyo Opo (Yang Tak Dapat Di-seperti-apakan, mengikuti imam Hambali: "jangan sebutkan bagaimana") dan sebagainya dan seterusnya. Yang langsung disusul pertanyaan sekuensinya: apa sebenarnya semesta alam raya ini? Peristiwa apa dan siapakah manusia? Siapakah saya, sahaya, aku, kami, kita? Aku dan Tuhan, sahaya dan Allah?
Dalam banyak hal yang menyentuh masalah Islam, dan yang dikemukakan K.H. Abdurrahman Wahid dalam bunga-rampai ini saya merasa, bahwa kami yang beragama non-islam pun sepantasnya mengakui, bahwa apa yang diharapkan Kiai Tebuireng ini dari umat Islam sebenamya substansial berlaku juga bagi penganut agama non-islam, tentu saja analog atau mutatis mutandis (dengan mengubah / merelevansikan yang perlu diubah / direlevansikan).
Namun di sini istilah non-islam baru diambil artinya selaku agama, jadi hal-hal lahiriah atau ekspresi ritual maupun sosiologis kultural atau tradisi yang telah dibakukan demi hidup kebersamaan organisatoris dan historis dari setiap golongan atau kelompok orang banyak. Belum dalam arti rukun iman dalam terminologi kaum Muslimin, atau religiositas dalam peristilahan umum, yang langsung meradak dalam pengalaman dan penghayatan nurani yang terdalam serta sikap karya nyata pribadi perorangan yang sedikit banyak suatu misteri yang hanya diketahui Tuhan, karena menyangkut hubungan pribadi antara si manusia bersangkutan dengan Tuhan Yang Mahamisteri.
Lainlah kesimpulan apabila Islam diambil artinya yang asli dan sejati selaku kepasrahan diri secara total kepada Tuhan Allah, jadi universal berlaku bagi setiap manusia, rukun iman. Jadi bukan pengertian Islam sebagai agama (religion, Gottesdienst), gugusan / perangkat baku dan resmi ritual, organisatoris, sosiologis politis kultural dan historis atau adat lahiriah (orang beragama bisa saja tidak beriman, orang tidak beragama bisa terjadi toh beriman. Yang ideal: beragama sekaligus beriman, tetapi ini dalam manusia selalu masih suatu proses, suatu perjuangan). Dalam hal rukun iman ini kaum Islam, Nasrani dan Yahudi punya suri-teladan dan simbol yang satu dan sama isi maupun himahnya, yakni: Nabi lbrahim atau Bapa Abraham.
Oleh karena itu, jika rukun iman secara analog dan mutatis mutandis boleh di-''ekstrapolasi": tidak hanya berlaku untuk umat Islam tetapi untuk umat Nasrani dan Yahudi juga, maka rukun iman tersebut mungkin dapat diistilahkan atau paling sedikit disimbolisasi oleh sikap dan kerjanyata yang disebut rukun lbrahim dalam kerangka definisi islam (islam dengan huruf kecil, hanafi, menurut Nurcholis Madjid), bukan sebagai agama spesifik melainkan selaku sikap-dasar dan karya-nyata penuh kesumarahan total kepada Allah atau Tuhan Yang Mahaesa. Sehingga bisa saja (why not) orang yang beragama spesifik Katolik atau Calvinis, Hindu atau mistik Jawa disebut islam apabila ia hidup penuh kesumarahan total kepada Allah. Paralel dengan yang juga sudah lama dikatakan para teolog Kristiani tradisional, bahwa semua orang
yang hidup penuh iman, harapan, dan cintakasih, mengikuti kesumarahan total Bapa Abraham, biar beragama apa pun, adalah kristiani alamiah (naturaliter christiani). Pemahaman seperti itu jelas menyesatkan bila diterapkan pada dimensi agama selaku kesatuan sosiologis kultural dengan organisasi, simbol-simbol resmi serta acara ritual, adat, perangkat dogma dan hukum agama yang sudah baku dan resmi. Akan tetapi bila diterapkan pada dimensi hakekat dan kedalaman misteri pribadi atau intensitas mistik manusia yang bersikap dasar sumarah penuh total kepada Tuhan Allah yang berbuah
karya-karya yang baik dan mendamaikan, maka kita dapat berkata: apa salahnya, why not.
Demikianlah Gus Dur adalah salah satu tokoh Islam Indonesia yang penting dan semakin diakui bertaraf internasional sebagai perintis dan penggerak ortopraksis dan pencarian penafsiran ulang yang diharapkan tuntas dalam dunia Islam (secara tidak langsung dalam dunia non-islam juga). Dalam suasana dan tekad hati:mencari re-aktualisasi agama. Lebih rinci: "konfigurasi antara nilai-nilai normatip dan reaktualisasi ajaran agama amat dibutuhkan, selama kaum Muslimin tetap pada pendirian untuk tidak "melangkahi" ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah." (kata pengantar untuk buku Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam "Ensiklopedia ljmak" oleh K.H. A. Sahal Machfudz dan K.H. Mustofa Bisri).
AGGIORNAMENTO
Di sinilah pula izinkanlah saya melihat kesejajaran yang menggembirakan dengan apa yang resmi diharapkan dan dibahasakan oleh inisiator utama Konsili Vatikan II, Paus Yohanes XXIII dalam ajakannya mencari aggiornamento (meng- up-to-date-kan, menghari-kini-kan atau merelevansikan dengan hari aktual) harta khasanah iman, harapan dan cintakasih Kristiani ke dalam kebijakan kegembalaan Gereja Katolik Roma yang relevan untuk dan dalam dinamika dahsyat akhir abad ke-20 dan zaman selanjutnya yang penuh perubahan-perubahan fondamental bagi semua manusia di bumi ini. Paus
inisiator Konsili Vatikan II ini tidak mau membicarakan masalah-masalah dogma, ajaran dan hukum agama, tetapi masalah refleksi atas kedudukan diri, esensi tugas, sikap dan bahasa religius yang harus direalisasi Gereja menghadapi dunia, manusia dengan bermacam-macam perubahan rasa, keyakinan, filsafat hidup, kaidah moral, etika, dan tentu saja agama.
Yang beroperasi dalam penentuan sikap terhadap seluruh alam mikro maupun semesta raya, terhadap sang manusia itu sendiri dan hubungan antar-manusia, dan akhirnya terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Yang Maha-Transenden sekaligus Maha-Immmanan penuh misteri suci. Dan karena itu memerlukan keterpaduan ihtiar dan persahabatan semua manusia mencari (thalib) yang masih menghayati diri sebagai abdullah. Dari bab-bab pengantar bunga-rampai ini tampak bahwa
hal itu terjadi sangat intensip dalam dunia Islam dan saya yakin dalam gama serta kepercayaan lain juga, khususnya oleh para pemikir muda dari generasi dar-sulh yang serius penuh dedikasi serta keyakinan iman. Personal maupun sosial.
TUHAN, AGAMA, RELIGIOSITAS
Maka K.H. Abdurrahman Wahid mengajak kita untuk dengan empati dan simpati menghayati apa yang dihikmahkan oleh cerita-cerita nyata kehidupan sehari-hari rakyat kecil oleh Muhammad Sobary dalam bukunya "Kang Sejo Menemukan Bulan" yang penuh humor namun penuh kearifan hidup juga: Agama adalah alat menuju kepada Tuhan. Bukan tujuan hidup itu sendiri. Pencarian dan pengenalan akan Tuhan-lah yang menjadi wahana utama kehidupan beragama, bukannya penganutan ajaran agama secara "sempurna". Pernyataan yang pantas menjadi bahan renungan sekaligus peneguhan untuk semua pencari Tuhan dari agama mana pun. Demikianlah sungguh akan memperkaya batinlah tawaran Masdar F. Mas'udi dalam bukunya "Agama Keadilan" tadi serta komentar Gus Dur tentangnya, yang juga sudah menjadi dambaan umum generasi muda yang muak akan segala pertentangan antar umat agama dan merindukan suatu kerukunan yang sejati (namun juga yang pasti mengundang sanggahan tidak lunak dari banyak sekali agamawan tradisional ortodoks), yakni agama fitrah, agama kemanusiaan utuh, yang dalam konteks personalnya didefinisikan dengan "kepasrahan kepada Tuhan Yang Esa" dan dalam konteks sosialnya adalah suatu "komitmen transendental terhadap nilai-nilai moralitas kolektif seperti: keadilan, persaudaraan, kemerdekaan, kesetaraan perlakuan di muka hukum dan nilai keluhuran lain yang dijunjung tinggi oleh komunitas manusia secara universal, yang oleh Masdar (dan didukung oleh K.H. Abdurrahman Wahid) disebut sebagai agama substansial, kepada mana negara pun harus mengabdikan dirinya.
TERIMA KASIH
Terima kasih pula pantas kita sampaikan, selain kepada Gus Dur, juga kepada Penyunting dan Penerbit Bunga Rampai penuh hikmah ini, yang ditulis dalam sekian tahun kurun waktu panjang oleh seorang Muslimin sejati, juru damai
dan penyambung hati-nurani semua saja yang mencari Tuhan dan khususnya Tuhan yang hadir dan hidup dalam kerapuhan dan keterbatasan manusia namun real, baik yang cendekia maupun dan terutama dalam kalangan sederhana dan menderita, yang kita yakini amat dicintai Tuhan Yang Mahabesar lagi Pengasih secara khusus, dan yang meminta dicintai oleh kita semua juga. Selamat membaca dan merenungkan.
Yogyakarta, Agustus 1996.
Y. B. Mangunwijaya
"Gus Dur tentang Romo Mangun"
KATA PENGANTAR BUKU MENUMBUHKAN SIKAP RELIGIUS ANAK-ANAK (karya Y. B. Mangunwijaya)
Oleh: Kiai Haji Abdurrahman Wahid
SEORANG awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya di manakah Tuhan berada. Nabi menjawab dengan pertanyaan, di manakah Tuhan menurut orang itu? Penanya tersebut lalu menjawab bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi lalu membenarkan ucapannya itu. Para sahabat Nabi lalu mempersoalkan hal itu, sepeninggal orang tersebut. Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Ia berada di mana saja, karena Ia tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk? Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.
Riwayat tersebut menggambarkan betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Keserbaagungan Tuhan dan kemaha?mahaan lainnya yang dimiliki?Nya, tak dapat dijelaskan secara tepat kepada manusia. Sebabnya mudah saja: keterbatasan kemampuan manusia untuk menangkap kebesaran Tuhan. Kebesaran?Nya yang demikian mutlak, meniadakan kemampuan untuk hanya menetapkan satu cara saja untuk memahami?Nya. Dengan kata lain, pemahaman akan hakikat Tuhan mau tidak mau lalu mengambil bentuk berbeda?beda, dan dengan sendirinya pemahaman itu sendiri lalu berderajat. Tidak sama tingkat pemahaman Tuhan dari manusia ke manusia lainnya. Ada yang memahami?Nya demikian sederhana, seolah?olah Tuhan adalah sesuatu yang tidak kompleks sama sekali. Tuhan yang demikian adalah Tuhan yang dipahami secara sesisi: Maha Pemarah, Maha Penghukum, Maha Pembalas, dan seterusnya. Kepada manusia Ia adalah wajah kekuasaan yang mengerikan dan menakutkan, selalu siap dengan hukuman dan siksaan?Nya. Ia langsung menghukum setiap kesalahan, kelalaian dan kealpaan, bahkan sering kali hukuman?Nya sudah dijatuhkan sebelum kematian manusia dan ketika dunia belum kiamat. Penyakit menular dari sampar sampai cacar, bencana alam dari gempa bumi sampai banjir dan gunung meletus dan penindasan oleh bangsa?bangsa lain dijadikan contoh dari hukuman Tuhan itu.
Tuhan yang sesisi itulah yang paling banyak mencengkam benak manusia, dari masa ke masa dan dari agama ke agama. Hubungan Tuhan dan manusia dalam pemahaman seperti itu sangat bersifat mekanistik. Kau berjasa kepada Tuhan, kau akan diganjar dengan pahala. Sesuai dengan bagianmu, akan kau peroleh salah satu dari deretan sekian banyak imbalan, mulai dari kolam susu sampai bidadari ayu. Sebaliknya, kalau kau bersalah, hukuman akan jatuh dengan sendirinya. Boleh pilih, menurut tingkat dosamu, dari potong lidah hingga masuk penggorengan raksasa atau dipanggang menjadi manusia guling (ekuivalen kambing guling dari kehidupan dunia). Hubungan Tuhan dan manusia adalah hubungan hitam?putih, dengan spektrum sangat sempit dan tidak ada kemungkinan derajat pilihan cukup besar untuk mewadahi begitu banyak keragaman antarmanusia. Kalau ini yang dijadikan pola kehidupan beragama, masing?masing lalu berada pada kesempitannya sendiri. Jangankan dengan pemeluk agama lain, dengan sesama pemeluk satu agama pun akan terjadi perbedaan tajam. Pemahamanku adalah satu?satunya pemahaman yang benar, dan kau kafir karena kau berbeda dari pandanganku, dus kau bersalah. Neraka adalah bagianmu, dan surga adalah bagianku.
Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh keruwetan hubungan antarmanusia, yang sebenarnya justru jauh dari hakikat agama. Salah satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas?batas perbedaan antarmanusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Manusia yang tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu sudah tentu tidak dapat mengangkat diri menuju pengembangan sifat?sifat keilahian yang hakiki dalam dirinya, padahal itulah yang justru diminta oleh agama dari manusia. Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintai?Nya, adalah inti dari imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?
Tidak heranlah jika kaum mistik lalu mendambakan keintiman langsung antara manusia dan Tuhannya. Dari para pertapa Hindu dan Budha hingga pendiri ordo Katolik dan para Sufi Muslim, mereka semua mendambakan kecintaan timbal?balik yang tulus antara Tuhan dan makhluk?Nya. Tuhan dilihat sebagai totalitas kebaikan dan kasih?sayang, dan manusia dilihat sebagai penerima kebaikan dan kasih?sayang itu. Karenanya, ia menerima Tuhan dengan kecintaan mutlak dan penghargaan setulus?tulusnya. Terasa benar kedua hal itu dalam ungkapan Sufi wanita Rabi'ah Al?'Adawiyah: Ya Allah, tiadalah kusembah Engkau karena takut neraka?Mu atau tamak surga?Mu, melainkan kusembah Engkau karena Kau?lah zat tunggal yang patut kusembah. Luluhlah semua perintang di hadapan kecintaan seperti itu, hancurlah semua penghalang di muka ketulusan begitu mutlak.
Memang tidak semua manusia dapat sampai ke tingkat pemahaman Ketuhanan seperti itu, karena memang ia adalah tingkatan khusus untuk sejumlah orang suci saja. Namun, ia sepenuhnya benar sebagai tolok ukur ideal bagi pemahaman yang seharusnya dimiliki manusia akan Tuhan?Nya. Nabi Muhammad menggambarkan bahwa Tuhan adalah sebagaimana dibayangkan oleh kawula?Nya, dalam arti Ia mampu mengisi segala rongga yang ada di benak manusia, dan semua sudut yang ada dalam hatinya. Al?Quran mengajarkan bahwa “Tuhan lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri”, namun pada saat yang sama Ia “duduk tegak di tahta?Nya”. Ini berarti Ia lebih besar dari apa pun rumusan manusia akan hakikat?Nya yang Maha Sempurna. Sia?sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Seperti dikatakan para ulama Muslimin, boleh kalian rumuskan apa saja tentang Tuhan, tetapi jangan tentukan mekanisme kerja?Nya dalam menciptakan alam dan mengaturnya sekali. Boleh kalian sifati Tuhan dengan seberapa pun sifat yang dapat kalian kumpulkan, namun jangan tanyakan bagaimana sifat?sifat Tuhan itu menyatu dengan Zat?Nya. Jangan sebutkan bagaimana, kata Imam Hambali, bila kaifa dalam bahasa Arabnya.
Gambaran keluasan wawasan Ketuhanan yang seharusnya dimiliki manusia, seperti dicoba untuk digambarkan di atas, rasanya merupakan “pintu masuk” yang tepat bagi buku Romo Y. B. Mangunwijaya ini. Penulisnya melihat hubungan manusia dan Tuhan dalam ketakterhinggaan ufuk Ketuhanan itu, yang melampaui semua perbedaan antarmanusia dan menjembatani semua kesenjangan dalam kehidupan dunia. Manusia pertama?tama tidak dilihat sebagai obyek “garapan Tuhan” saja, melainkan sebagai pelaku aktif yang dituntut untuk mewujudkan pandangan keagamaannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dirumuskan secara global, penghayatan iman seperti itu adalah penghadapan dan pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan, karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang dikehendaki Tuhan.
Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih, maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya sifat?sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat?sifat Tuhan itu dalam diri manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka, dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagad raya ini. Tuntutan keagamaan seperti itu mengharuskan tumbuhnya pandangan tersendiri dalam diri manusia, dan itu akan diperoleh manakala religiositas ditanamkan dalam dirinya sejak masa anak. Bahwa “pendidikan agama” yang konvensional selama ini hanya menekankan penguasaan rumusan?rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan, akhirnya mendorong penulis buku ini untuk mencoba memetakan secara sederhana bagaimana seharusnya religiositas anak dikembangkan dan dibina.
Dalam kitab Al?Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangatmu kepada Allah dan ucapan?ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah. Kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan. Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan. Karenanya, Tuhan yang abstrak tidak akan menciptakan religiositas, karena Ia tidak tergambar dalam keteladanan yang kongkret. Berikan kepada anak sosok Tuhan yang sangat abstrak, dan ia hanya akan menjadi beo peniru rumusan tanpa mampu memiliki religiositas sedikit pun. Letakkan pemahaman anak itu akan Tuhan dalam bentuk yang kongkret, yang dapat diwujudkannya dalam kehidupan sehari?hari, dan ia akan mengembangkan dalam dirinya religiositas penuh. Religiositas yang merasa prihatin oleh gugahan keprihatinan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Religiositas yang dalam lingkupnya sendiri mampu membuat anak itu di kemudian harinya mempertanggungjawabkan keimanannya sendiri kepada kehidupan.
Sebuah kisah menarik dari khazanah kaum Sufi dapat dikemukakan di sini. Seorang wanita saleh tidak mau memberi minum kepada kucing yang dikurungnya, hingga kucing itu mati. Sedangkan seorang wanita pelacur suatu ketika menolong anjing yang tersesat di padang pasir dari kematian karena kehausan, dengan jalan memberikan kepada anjing itu persediaan terakhir air minumnya. Dilakukannya hal itu dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Di hari kiamat, sang wanita saleh dimasukkan neraka, karena kekejamannya jauh melampaui kesalehannya, sedangkan sang pelacur masuk surga karena kasih?sayangnya menyelamatkan makhluk lain, dan itu melebihi semua kesalahan dan kebobrokan moralnya. Mungkin dalam cerita inilah dapat ditemui gambaran kongkret akan religiositas, jika dimaksudkan dengan itu pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Religiositas dalam arti pemahaman bahwa ajaran formal agama belaka tidak akan mampu membentuk keimanan yang mampu meneropong kehidupan dalam segala keluasan dan kelapangannya. Ajaran formal itu masih harus dikongkretkan dalam sikap?sikap yang menghargai kehidupan dan memuliakan kedudukan manusia. Religiositas yang tidak terpaku pada pembenaran diri sendiri atau ajaran sendiri saja, melainkan yang sanggup membuat manusia menghargai sesamanya, betapa jauhnya sekalipun perbedaan antara mereka dalam keyakinan agama.
Tuhan yang ditanamkan pada diri anak, kalau diikuti garis pemahaman tersebut, adalah Tuhan yang mewujudkan diri dalam bentuk kongkret bagi anak. Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang dimonopoli para teolog. Kalau Romo Mangunwijaya dalam buku ini meminta pengembangan anak yang menjadi milik Tuhan, dengan segala keindahan yang ada pada diri anak seperti itu, maka di akhir kata pengantar ini patutlah disambut ajakan itu dengan mengimbau agar hal itu dicapai melalui pengembangan wawasan yang akan menampilkan Tuhan yang menjadi milik anak. Menjadikan Tuhan milik anak, agar anak menjadi milik Tuhan, kalau meminjam peristilahan masa kini (seperti menyadarkan masyarakat dan memasyarakatkan kesadaran).
Mampukah kita semua, dengan melupakan semua perbedaan agama dan keyakinan masing?masing, melakukan kerja itu?
24?12?1985