Mimpi Rumah Murah
Penulis: yu sing (AR94)
Penerbit: TransMedia, 2009
Tebal: xii + 92 hlm
Harga: Rp 37.000, dapatkan bukunya di SINI
Gilakah orang yang bermimpi ingin punya rumah? Pastinyanya tidak. Setelah sandang, siapapun perlu papan. Tapi, wajarkah memimpikan ingin punya rumah yang dibangun tanpa bantuan jasa arsitek? Wah, kalau Anda termasuk penganut mimpi aliran ini, jujur saja, Anda terlalu berani! Meskipun dengan alasan penghematan? Tetap kelewat berani! Atau sebenarnya kita kelewat takut?
Sebagai pembuat film, perkenankan saya untuk memperkenalkan istilah ‘ilmu casting’. Artinya, soal mahal/tidak mahal sangatlah tergantung pada pemilihan arsitek yang bagaimana dulu. Menganggap semua arsitek itu mahal sama dengan mengganggap semua pembuat film punya penghasilan tinggi. Bersyukurlah karena sebetulnya dalam dunia arsitektur Indonesia, Anda masih bisa memilih jasa arsitek mulai dengan rentang harga-tinggi hingga tidak-(kelewat)-tinggi. Di dunia film? Anda bisa menemui sejumlah pekerja film yang berpenghasilan-(relatif)-tinggi sampai dengan semoga-(masih)-berpenghasilan. Apa hubungan kedua bidang ini?
Di jaman ini, membuat film dengan biaya rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali, bukanlah hal luar biasa. Tak jarang dalam kondisi serba terbatas, sejumlah karya film justru bisa memperoleh pencapaian artistik yang tinggi dan substansi mendalam. Nah, ketika ada arsitek-arsitek yang mencoba merancang rumah berbiaya terbatas (membatasi ‘kemewahan’ anggaran dengan menekankan pada fungsi serta esensi), muncullah pertanyaan: apa yang sebetulnya ingin mereka cari? Dengan preseden tersebut, mari kita mengulas buku Mimpi Rumah Murah yang ditulis oleh arsitek yu sing, dan mencoba memahami pertanyaan-pertanyaan utama yang selalu ia lontarkan sebelum mulai membuat rumah murah: ‘Kenapa sebuah rumah harus dibangun? Untuk siapa? Bagaimana rumah itu kelak meningkatkan kualitas hidup para penghuninya?’
Pertanyaan Soal Hidup, Ruang-Ruang Kehidupan, dan Kualitas Hidup
Sejak masa kuliah, yu sing kerap bertanya, “Buat apa, sih, saya HIDUP?” (h. viii). Bertahun-tahun kemudian, setelah ia lulus, yu sing tetap berupaya menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu bentuk jawabannya adalah melalui gagasan membangun 100 rumah, yang delapan di antaranya, bisa kita lihat rancangannya dalam buku ini. Gagasan rumah murah itu menurut yu sing, mulai muncul sekitar tahun 2008.
Di bagian pembuka, yu sing berpendapat bahwa jasa arsitek dalam menciptakan ruang-ruang hidup keseharian yang berkualitas (peningkatan interaksi antar penghuni dan pemaksimalan fungsi rumah) bisa mendorong sikap hidup para penghuninya menjadi lebih positif. Sehingga,”...kualitas hidup manusia-manusia positif ini seharusnya bisa ikut menentukan wajah bangsa kita menjadi lebih baik.” (h. ix).
Menarik untuk mulai menelusuri cara berpikir yu sing melalui pernyataannya di bagian awal buku ini. Pertama, yu sing berpendapat bahwa seorang arsitek tidak hanya ‘menjual jasa’, tapi juga ‘melayani’ dan ‘ikut memberi’. Kedua, ia mengintepretasikan fungsi ‘pelayanan’ seorang arsitek ke tingkatan yang lebih mendasar daripada sekadar pemasok perwujudan ‘gaya hidup’ segelintir orang berada. Ringkasnya, yu sing mencoba meyakinkan kita (mungkin termasuk juga rekan-rekan seprofesinya), bahwa selalu ada ruang yang terbuka lebar bagi para arsitek untuk turut melahirkan karakter manusia-manusia yang disebutnya ‘positif’. Hal tersebut ditekankan dalam penuturannya tentang rumah, yaitu: “…ruang utama yang menjadi pusat pertumbuhan dan pembentukan kualitas manusia.” (h. viii). yu sing sejak awal telah sadar bahwa gagasan rumah murah ini merupakan proyek jangka panjang, dan bukan sekadar pengisi waktu luang.
Dalam waktu kurang dari enam bulan (sejak Maret 2008), gagasannya tentang rumah murah segera direspon oleh sekitar 40 keluarga dari berbagai daerah di Indonesia. yu sing mengakui bahwa dari rencana awal 40 keluarga, tak seluruhnya tuntas berproses bersamanya dalam mewujudkan impian mereka karena adanya halangan-halangan tertentu. Buku ini berisi perjalanan dari delapan rumah murah (dari keseluruhan rencana 40 rumah) yang diulasnya berdasarkan kebutuhan, konteks, dan kebutuhan yang beragam.
Bagi yang kerap berkunjung ke toko-toko buku utama, coba bayangkan, di mana buku Mimpi Rumah Murah ini idealnya dipajang? Mimpi Rumah Murah tak sejalan dengan kebanyakan buku arsitektur yang lebih menjual gaya hidup ketimbang esensi perancangan rumah dan jelas-jelas turut berdosa dalam mengonfirmasi mitos mahalnya jasa arsitek. Mimpi Rumah Murah juga jelas tidak menjual foto-foto indah sejumlah ‘produk jadi’. Dan karena buku ini bukan manual atau petunjuk bagaimana membangun rumah dengan biaya murah, maka menempatkan Mimpi Rumah Murah di jajaran ‘buku petunjuk’ juga bukanlah langkah yang tepat.
Memang benar bahwa Mimpi Rumah Murah berada di ranah arsitektur, namun ia lebih menawarkan gagasan yang lahir dari keresahan sang penulis/arsiteknya dan bagaimana ia menceritakan perjalanannya tersebut. Jadi, bagaimana cara yang pas untuk ‘membaca’ Mimpi Rumah Murah? Dan kenapa ia amat layak dibaca? Bahkan oleh mereka yang belum berencana membangun rumah?
Sebuah Jurnal (Tanpa Jaim)
yu sing membuka catatannya dengan mengajak pembaca memahami konsep ‘rumah tumbuh’ melalui proyek renovasi rumah di Caringin, Bandung. Konsep renovasi rumah ini dirancang sedemikian rupa agar bisa dibangun dalam beberapa tahap, sesuai dengan ketersediaan dana pemilik rumah. Selain itu, konsep rumah tumbuh ini juga memungkinkan klien untuk menggunakan 80-90% material bekas. Di fase berikut, yu sing dan timnya sempat mengusulkan kepada pemilik untuk meniadakan ruang tamu dan sebagai gantinya menerima tamu di teras depan. Namun karena tawaran ini kurang sejalan dengan tata krama lingkungan sekitar, maka akhirnya yu sing dan sang penghuni memutuskan untuk mendesain ruang tamu fleksibel yang bisa dibuka-tutup sesuai dengan keperluan penggunaan.
Kemudian yu sing membawa kita ke Pontianak, pada sosok pasangan suami istri yang mengenal sang arsitek melalui sebuah blog (yu sing sendiri belum pernah berkunjung ke blog itu). Pasangan Pontianak tersebut, seperti ditulis yu sing, sebetulnya baru saja merenovasi rumah mereka, namun sang istri kemudian terpanggil untuk menunaikan ibadah haji. Mereka lalu memutuskan untuk menjual rumah mereka, membangun rumah baru yang lebih murah dan mengalokasikan sebagian anggaran untuk menunaikan ibadah haji (h. 15). Setelah mempelajari Rumah Panjang suku Dayak serta mengenali materi-materi dasar yang tersedia di Pontianak, yu sing dan tim menawarkan desain adaptasi Rumah Panjang kepada keluarga klien, yang ditanggapi dengan positif. Yang menarik dari proyek ini adalah bagaimana yu sing dan tim berhasil berkomunikasi dengan klien yang berdomisili jauh dari tim arsitek. Meski dengan frekuensi bertemu yang sedikit (kebanyakan komunikasi dilakukan via telepon/internet), tampaknya tak ada informasi penting yang terlewat oleh pihak yu sing dan timnya. Termasuk informasi tentang ketersediaan material yang relatif lebih mudah dan murah diperoleh di kawasan tinggal klien.
Klien yu sing yang berikut adalah pasangan yang menetap di kawasan Rempoa. Keluarga ini pernah mengalami peristiwa traumatis di mana rumah mereka menjadi sasaran perampokan. Solusi yu sing dan tim bukanlah menganjurkan keluarga tersebut untuk menyewa jasa satpam atau mantan marinir, melainkan konsisten dengan cara yang mereka terapkan pada para klien sebelumnya, yaitu mengenali keluarga Rempoa ini terlebih dulu, mencatat beragam aspek kehidupan serta dinamika kehidupan mereka. Yu sing mewujudkannya ke dalam sebuah rancangan dengan satu akses pintu masuk, yang tetap didesain terbuka di bagian dalam.
Keunikan yu sing terlihat ketika ia kerap menertawakan diri sendiri seperti saat keluarga klien Rempoa mengira ia ngambek akibat terlambat menjawab e-mail. Atau ketika putra klien Pontianak menyangka area tempat jemur pakaian yang dirancang dari susunan kayu sebagai tempat memelihara kambing, yu sing mencatat, “Memang, desain tidak ada yang sempurna.” (h. 21). Sebetulnya, alangkah mudahnya bagi yu sing untuk meniadakan catatan-catatan seperti ini demi kepentingan ‘jaim’ (jaga image-istilah gaul, ed.).
Kemudian, yu sing muncul di saat yang tepat di Palembang ketika salah satu kliennya (pasangan suami istri) nyaris ‘menjelma’ menjadi arsitek. Rancangan tawaran yu sing dan timnya kali ini mengadaptasi metafora dari rumah Palembang yang digambarkannya sebagai, “…sebuah tulang punggung dengan beberapa tulang rusuk.” (h. 48), di mana fungsi ruang publik ditampung dalam ‘tulang punggung’, sementara ruang-ruang lainnya menempati ‘tulang-tulang rusuk’. Dan “Dinding anyaman rumah ini akan berfungsi seperti kulit manusia yang memiliki pori-pori untuk bernapas.” (h. 53).
Salah besar jika kita mengira bahwa semua klien segera mengiyakan ajakan kerja sama yu sing dan timnya. Seorang ibu di Lombok perlu diyakinkan selama berhari-hari sebelum akhirnya menyanggupi rumahnya didesain oleh yu sing dan tim. Dengan dana awal sekitar 50 juta rupiah, rumah itu dirancang sebagai rumah tumbuh. Apa alasan yu sing untuk bekerja ekstra keras membujuk klien rumah murah yang ragu-ragu? yu sing mengatakan bahwa ia merasa mendapat ‘bayaran’ ekstra ketika klien mampu mengapresiasi rumah murah secara lebih tulus, tak hanya ‘terima jadi’ karena mampu membayar jasa.
Klien berikut yu sing adalah pasangan muda gebyar hobi ‘berani’. Sang suami/bapak di antaranya hobi berburu babi, panjat tebing, arung jeram, dan mengendarai motor trail. Syukurlah karena beliau mengambil keputusan untuk tetap menghubungi yu sing dan tim guna merancang rumah yang pas baginya dan keluarga. Hasilnya adalah sebuah rumah unik yang sangat berkarakter di kawasan Setiabudi Regency, Bandung.
Rumah yang ketujuh berada di kawasan Kiarasari, Bandung. Rumah yang dibangun di atas tanah seluas 172 meter persegi ini dirancang untuk mampu menampung 700 pohon. Pagar rancangan yu sing dan tim dibuat dari pipa-pipa pralon berdiameter 15 cm dan digantungkan pada rangka yang terbuat dari besi beton. Di dalam pipa-pipa itulah pot-pot tanaman ditaruh.
Rumah kedelapan berlokasi di Timika, Papua. Rumah ini terdiri dari tiga massa (massa rumah pertama berisi ruang tamu, kamar mandi, dan ruang tidur; massa kedua terletak di belakang yang pertama merupakan kamar tidur utama dengan kamar mandi di sampingnya; massa ketiga terdiri dari dua lantai yang berfungsi sebagai ruang aktifitas keluarga).
Siapa ‘Bintang’ Rumah Murah dan (Sekali Lagi) Kenapa Penting?
Yang lebih menarik ketika membaca buku Mimpi Rumah Murah adalah saat kita melihat hubungan antara tim arsitek dengan pemilik juga latar belakang sosial/budaya dan kondisi lokasi tempat tinggal pemilik; bagaimana semua itu melebur menjadi dasar desain rumah yang hendak dibangun. Dengan cara pendekatan yang dipakai yu sing dan timnya, dapat dipastikan bahwa tak akan pernah ada dua rumah yang sama persis bila pemiliknya berbeda. Cobalah berandai-andai membayangkan apa yang terjadi bila keluarga Rempoa bertukar tempat tinggal dengan keluarga bapak pemburu di Setiabudi Regency? Keunikan desain-desain rumah itu bisa menjadi kurang berarti karena tidak mencerminkan karakter atau memenuhi kebutuhan siapapun yang bukan penghuni secara maksimal. Dan, pemahaman yang terdengar sederhana namun sulit dijabarkan inilah yang bisa membebaskan kita dari kepura-puraan pemahaman soal estetika, aliran ini-itu, dan terutama dari tren: momok besar yang sudah merusak entah berapa banyak orang dengan istilah ‘gaya hidup’.
‘Bintang’ di dalam desain rumah murah versi yu sing dan tim adalah para pemilik rumah, sehingga pihak nomor satu yang harus mampu terkesan adalah mereka, bukan orang lain. Barangkali ini pula yang membuat tim arsitek yu sing wajib memiliki kemauan luar biasa untuk mengenali klien mereka sebagai individu yang utuh. Tampaknya hanya dengan cara itulah yu sing dan timnya bisa keluar dari ‘keganjenan’ desain dengan sistem ‘tempelan asal keren’. yu sing dan timnya memiliki kuesioner bagi seluruh calon klien mereka (terdiri dari 14 pertanyaan, tidak dimuat di dalam buku ini). Bagian terpenting, menurut saya adalah pertanyaan nomor tujuh, di mana arsitek dan tim meminta calon klien menceritakan sebanyak mungkin soal kehidupan keseharian, termasuk hobi, dan harapan mereka. Karena jawaban atas pertanyaan inilah yang menjadi kunci dalam memformulasikan desain rumah bagi klien-klien rumah murah yu sing dan timnya.
Bagaimanapun, sebuah desain bukanlah bentuk akhir. Sama halnya dengan skenario yang baru akan tampak dan dapat dipahami secara utuh setelah menjadi sebuah film. Oleh karena itu, kekuatan sekaligus kelemahan buku Mimpi Rumah Murah terletak pada gagasan yang tertuang melalui tulisan yu sing yang tidak disertai ilustrasi/gambar produk jadi. Isi yang terasa personal mungkin lebih pas jika disandingkan dengan ilustrasi yang tidak sedingin gambar-gambar 3D, sehingga membuka ruang untuk memasuki kawasan bacaan yang lebih umum. Bukankah boleh-boleh saja seorang arsitek menuliskan gagasannya tanpa perlu menjadi serba teknis?
Dalam format yang ada saat ini, hasil akhir beberapa rancangan di dalam Mimpi Rumah Murah harus dilihat melalui sumber lain (blog/situs yu sing, beberapa majalah yang pernah meliput karya yu sing dan tim, dll). Seorang kawan yang mendengar nama yu sing dan melihat gambar/foto beberapa karya yu sing di internet berkomentar, “Oke sih, tapi belum seedan Tan Tjiang Ay.” Saya balik berkomentar, “Yoda juga nggak ujug-ujug jadi Yoda kaleee…”. Atau, bisa jadi kekuatan desain rumah murah karya yu sing dan tim lebih dahsyat saat diapresiasi secara keseluruhan, sejak gagasan rumah murah lahir, hingga prosesnya menjadi bentuk yang utuh.
Membaca buku ini memang tidak lengkap tanpa adanya refleksi: sejauh apa kita pernah mempertanyakan relevansi sebuah profesi dengan kepentingan orang banyak di luar sana? Selain itu, kontribusi terbesar dari Mimpi Rumah Murah adalah terbukanya dialog soal rumah serta peran arsitek di luar garis ‘gaya hidup’, ‘investasi’, skema KPR/KPA, atau iklan properti yang banal dan tak pernah berhasil menyentuh pertanyaan yang paling mendasar: mengapa setiap orang perlu dan sebetulnya berhak memiliki tempat tinggal yang manusiawi?