Kampus ITB - Jumat, 2 Desember 2011.
BS in talk show program |
"....you are the bows from which your children as living arrows are sent forth...." - Kahlil Gibran.
Jumat jam 10.00 aku berangkat dari Jakarta menuju Bandung dengan sopir baru, namanya Mohammad. Sabarnya persis nabi besar. Alias lelet nyetirnya. Di Karawang, terpaksa ku ambil alih sambil bilang: "Mad, gaya nyetir kamu udah cocok untuk anter ibu dan Nia (putriku). Tapi buat buru-buru mah payah. Jangan tiru cara gue nyetir ini ya". Pedal gas langsung kutancap mengejar acara 'farewell party", atau 'Purnabakti Ir. Boediono Soerasno, MSc. BEM' di Galeri Arsitektur SAPPK ITB, yang dimulai jam 12.30.
Siapa sih Boediono Soerasno (BS)? Apa hubungannya dengan Kahlil Gibran?
Sewaktu aku kuliah di Departemen Arsitektur ITB (1977 - 1982), semua mahasiswa melihat BS sebagai sosok sukses, dosen killer, 'preman' Bandung, tukang rally sekaligus pribadi yang sangat disiplin dan profesional. Saat kami sedang culun-culunnya, beliau datang mengajar mengendarai mobil modifikasi rally, parkir, masuk ke lobi gedung Arsitektur tanpa toleh kiri toleh kanan. Nilai yang diberikannya jarang yang lebih dari C.
Beliau mengajar mata kuliah desain, advanced structure, dan kemudian menjadi pemrakarsa mata kuliah 'computer aided design' sambil membangun laboratorium-nya (pencetus ide, pencari dana, sekaligus dosen pertama). Selain jadi dosen, beliau berkarir (sekaligus menjadi salah satu pemilik) di PT. Encona Engineering, perusahaan konsultan multi disiplin dalam bidang Arsitektur, Engineering dan Konstruksi, menangani proyek-proyek skala besar dalam dan luar negeri. Oleh karenanya, tema acara purnabakti untuknya diberi judul: A Long Journey Between Two Worlds: Academic and Professional Architect.I was not one of his brightest students, for sure. Tapi kenapa dalam acara puncak karirnya ini, beliau mengundangku datang dan minta aku menyampaikan 'Kenangan dan Apresiasi' dari pihak Alumni? There is a simple answer: GOLF.
BS and me in Pangkalan Jati |
Aku ketemu beliau lagi sekitar 5 tahun lalu dalam acara reuni alumni Arsitektur. BS hadir bersama yayangnya (istri), mbak Setiati yang juga alumni Arsitektur ITB. BS kayaknya lupa padaku. Ternyata mengenai hal ini ada penjelasannya. Dalam acara purnabakti, aku ngobrol dengan mas Bambang Toto Pambudi. Dulu dia adalah dosen muda, sekarang udah tuek juga. Kubilang, 'mas, waktu pertama ketemu lagi, pak BS lali karo aku'. Jawabnya: "Ora lali! Kamu ndak pernah ikut mata kuliah BS. Waktu itu, BS nyambangi studio hanya untuk kasi konsultasi pada mahasiswa yang tugas akhir, kok. Lha, kalo loe ketemu dia, pasti ora lulus". Wah, masih sempet ngenyek lho, BTP, iki!
Singkat cerita, malam reuni itu aku ngobrol golf dengan BS. Beliau banyak hobinya: softball/baseball, rally, jogging, taichi, renang dan golf yang paling terakhir ditekuni. Esoknya kami janji main di Pangkalan Jati. Dasar orangnya kompetitif, beliau hanya mau terima voor 6 pukulan untuk 18 holes. Eh, di hole 2 par-4, dia bikin skor eagle (2 dibawah par). Mampus deh gue! Terus aku ajak beliau bergabung dalam komunitas golf yang kudirikan, Indonesia Golf Community (IGC). Komunitas golf terbesar di Indonesia ini beranggota sekitar 2500 pegolf, dan BS menjadi salah satu sesepuh/penasehat.
Kami usahakan main sekali seminggu tiap Selasa, muter ke lapangan-lapangan golf di sekitar Jabodetabek. Bareng dengan Hisnu Pawenang (ITB Sipil 67) dan Jannus Sihombing (ITB Sipil 74). Paling sering main di Pangkalan Jati karena, selain murah, jalan kaki, ada kantin di dekat mesjid yang selalu kami satroni seusai game. Menu utama: sup iga dan telur dadar. Lezatnya bukan main. Di kantin ini, tiap bayar selalu kaget. Makan ber-4, terkadang bareng kedi, ketika mau bayar si ibu pemilik kantin bilang, "160 rebu, Pak?' Haaah, bu, kapan mau naik haji? Jangan terlalu murah dong....
Anyway, banyak yang hadir dalam acara purnabakti ini, dari kalangan dosen, alumni, kolega di Encona, mahasiswa dan keluarga BS: mbak Yati dan kedua putri mereka Dianti, dan Diona. Masing-masing memberi kesan dan apresiasi mewakili kelompoknya.
Tiba giliranku, kusitir puisi Kahlil Gibran di atas, yang bermakna: "para dosen/guru dan orang tua adalah busur stabil darimana anak-anak dan para murid sebagai 'living arrows' (anak panah berjiwa merdeka), melesat menuju masa depan".Penggalan puisi ini sangat tepat merefleksikan sosok BS sebagai dosen. Walaupun galak, diam dan angker, komitmen dan 'passion'-nya pada ITB, Arsitektur, dan murid-muridnya tak perlu diragukan lagi. Sampai minggu lalu, disela-sela kesibukannya, BS masih menyetir sendiri tiap Kamis pagi Jakarta - Bandung untuk mengajar dan bertemu mahasiswa. Kemudian setelah mahasiswa terakhir hari itu selesai konsultasi, Jumat dinihari dia nyetir balik ke Jakarta.
Sebagai mantan perally nasional, beliau sangat mencintai mobil BMW seri 320 (punya 3 dengan warna berbeda). Bagai anak, semua dicintai, tapi tetap ada favoritisme. Yang paling dikasihi adalah 'Si Kuning'. Mobil ini pernah kutumpangi saat menuju padang golf Modern di Tangerang. Begitu naik, aku bilang, 'pak, jangan ngebut ya'. Jawabnya sih enggak, tapi begitu masuk toll Bintaro - BSD, mobil langsung digeber. Aku memejamkan mata merasakan hentakan G Force pada dada, sambil komat kamit berdoa. Ndilalah, mobil pecah radiatornya dan aku bertugas beli Aqua untuk mendinginkan mesin. Kelihatan beliau sangat berduka. Mobil harus ditinggal di bengkel, main golf telat pula.
Saat menutup kesan dan apresiasi, kubeberkan hubungan Boediono Soerasno dengan Kahlil Gibran. Kuyakin (akibat doyan nonton seri TV 'Fringe'), sebagai seorang sufi, Gibran punya kemampuan 'time traveling back and forth, into the past and the future'. Barangkali suatu waktu dalam perjalanan 'loncat masa', Gibran pernah bertemu dengan BS, ngobrol dan terilhami menciptakan puisi terindah sepanjang masa yang memuat penggalan kalimat di atas. Gibran yakin bahwa anak bukanlah milik orang tua yang bisa dibentuk seenaknya. Anak adalah milik masa depan. Orang tua hanyalah busur pelesat.
Begitu juga dengan BS aka Boediono Soerasno alias Boesoer! Dia adalah salah satu busur yang melontarkan kami, para mahasiswanya, menuju masa depan.
Selamat menempuh hidup baru, Pak Boesoer. Many more enjoyable years to come. Now, there is no more reason not to play golf more often.
Amrie Noor |
IGC Chief /AR77 |